Anak Belajar Bahasa Seketika saat Mendengar, bukannya
Bertahap
Penelitian terbaru oleh sebuah tim
psikolog Universitas Pennsylvania memantu menjungkirkan teori dominan mengenai
bagaimana anak belajar kata-kata pertamanya, menunjukkan kalau itu terjadi lebih
sering seketika ketimbang bertahap lewat paparan berulang-ulang.
Penelitian ini dilakukan oleh pascadoktoral
Tamara Nicol Medina, professor John Trueswell, dan profesor Lila
Gleitman, semuanya dari jurusan psikologi di sekolah seni dan sains Penn dan lembaga
penelitian ilmu kognitif Universitas tersebut, bersama dengan Jesse Snedeker,
seorang professor dari Harvard University.
Penelitian mereka diterbitkan dalam jurnal Proceedings
of the National Academy of Sciences minggu lalu.
Teori lama mengatakan kalau anak belajar
kata-kata pertamanya lewat sederetan asosiasi; mereka mengasosiasikan kata-kata
yang mereka dengar lewat referensi ganda yang mungkin dalam lingkungan
sekitarnya. Seiring waktu, anak dapat melacak kedua kata dan elemen lingkungan
yang berkaitan dengannya untuk pada akhirnya menyempitkan apa elemen kata yang
sama rujukannya.
“Hal ini terdengar masuk akal sekali hingga anda
melihat kenyataannya,” kata Gleitman. “Ternyata hal tersebut mungkin mustahil.”
“Teori ini dipandang sebagai pendekatan sederhana
yang memaksa,” kata Medina. “Saya bahkan melihatnya dirujuk pada buku-buku
pengajaran anak untuk menjelaskan bagaimana anak mempelajari kata-kata pertama
mereka.”
Eksperimen yang mendukung teori belajar kata
asosiatif ini umumnya melibatkan sederetan gambar atau benda, ditunjukkan
berpasangan atau dalam kelompok kecil dalam latar belakang netral. Dunia nyata
sebaliknya, memiliki tak terhingga kemungkinan referensi yang dapat berubah
tipe atau penampakannya dari saat ke saat dan bahkan mungkin tidak ada saat
kata tersebut diucapkan.
Sekelompok kecil ahli psikologi dan bahasa termasuk anggota tim Penn, telah lama berpendapat kalau sejumlah besar perbandingan statistik dibutuhkan untuk mempelajari kata-kata seperti ini dan jelas diluar kemampuan ingatan manusia. Bahkan model komputasi yang dirancang untuk menghitung statistik demikian harus mengimplementasikan semacam jalan pintas dan tidak menjamin belajar secara optimal.
“Ini tidak berarti kita buruk dalam memahami
informasi statistik dalam relung lain, hanya saja kita melakukan pelacakan
semacam ini dalam stuasi dimana ada jumlah elemen yang terbatas yang dapat kita
asosasikan satu sama lain,” kata Trustwell. “Saat kita harus memetakan
kata-kata yang kita dengar pada jalan yang pada dasarnya tak terbatas dalam
persepsi kita pada dunia, pelacakan statistik besar-besaran ini tidak berguna.
Distribusi kemungkinannya terlalu besar.”
Untuk menunjukkan hal ini, tim Penn melakukan
tiga eksperimen berhubungan, semua melibatkan segmen video singkat orang tua
berinteraksi dengan anak mereka. Subjek, baik dewasa dan anak prasekolah,
menonton video-video ini dengan suara dimatikan kecuali ketika sang orang tua
mengatakan kata-kata tertentu yang harus ditebak subjek; kata target diganti
dengan kedipan di eksperimen pertama dan kata peletak nonsens pada kedua dan
ketiga.
Eksperimen pertama dirancang untuk menentukan
seberapa informatif gambaran tersebut dalam menghubungkan kata target dengan
maknanya. Bila lebih dari separuh subjek dapat menebak benar kata target, ia
diberi label Sangat Informatif, atau HI. Bila kurang dari sepertiga dapat, ia
diberi label Rendah Informasi, atau LI. LI sangat banak dibandingkan HI, dari
288 kata, 7 persennya HI dan 90 persennya LI, menunjukkan kalau untuk kata yang
sangat sering sekalipun, menentukan makna semata dari konteks visualnya cukup
sulit.
Eksperimen kedua melibatkan menunjukkan subjek
sederetan video dengan kata target ganda, semua diletakkan secara konsisten
dengan peletak nonsens. Para peneliti dengan hati-hati mengatur campuran contoh
HI dan LI untuk menjelajahi konsekuensi perjumpaan saat belajar informatif awal
atau lanjut.
“Dalam studi-studi sebelumnya jenis ini, para
peneliti menggunakan perangsang buatan dengan sejumlah kecil pilihan makna
untuk tiap kata; mereka juga melihat pada hasil akhir eksperimen: apakah anda
akhirnya tahu kata tersebut atau tidak,” kata Trueswell. “Apa yang kami lakukan
disini adalah melihat arah belajar kata sepanjang eksperimen, menggunakan
konteks alami yang pada dasarnya mengandung sejumlah tak terhingga pilihan
makna.”
Dengan meminta subjek menebak kata target setelah
tiap tayangan, penelitian ini dapat merasakan apakah pemahaman mereka bersifat
kumulatif ataukah terjadi dalam saat-saat “eureka.”
Bukti sangat menunjukkan yang kedua. Paparan
berulang pada kata target tidak membawa pada ketelitian yang lebih baik seiring
waktu, menunjukkan kalau hipotesis asosiasi sebelumnya tidak berlaku.
Lebih jauh, hanya saat subjek melihat tayangan HI
pertama ketelitian tebakan akhir meningkat; tayangan HI awal memberikan
kemungkinan terbaik pada subjek untuk mempelajari kata yang benar, dan sebagian
besar menebak benar saat ditunjukkan. Bukti pembenar membantu mengunci pada
makna benar bagi subjek-subjek ini yang memulai pada jalur yang tepat.
“Ini seperti anda tahu ketika ada bukti yang
bagus, anda dapat membuat sesuatu seperti tebakan yang dipertimbangkan dengan
hati-hati,” kata Gleitman.
Walau begitu, ketika subjek melihat potongan LI
lebih dahulu, mereka cenderung salah menebak dan, walaupun diperbolehkan
memperbaiki tebakan ini selama eksperimen, mereka akhirnya tidak mampu juga
tiba pada makna yang benar. Hal ini menunjukkan kalau subjek ini tidak memiliki
ingatan makna alternatif yang mungkin termasuk yang benar dari potongan awal
yang dapat mereka ingat.
Eksperimen ketiga menunjukkan kalau
ketidakmampuan mengetahui makna yang salah dalam pikiran dibutuhkan agar
akusisi kata yang mungkin dapat terjadi. Setelah penundaan beberapa hari,
subjek melihat potongan kata target yang sama yang salah mereka tebak
sebelumnya namun tidak menunjukkan peroleh asumsi salah mereka lagi.
“Semua ingatan tersebut lenyap,” kata Gleitman.
“Dan itu bagus! Kegagalan ingatanlah yang menyelamatkan anda dari tetap salah
selama sisa hidup anda.”
Penelitian selanjutnya oleh anggota tim Penn akan
menyelidiki apa yang membuat interaksi pasti lebih atau kurang informatif
ketika berhubungan dengan makna kata, dan juga urutan dimana orang mengolah
informasi visual dalam lingkungannya. Kedua penelitian ini dapat membantu
menulis ulang buku paket dan panduan mendidik anak, menyarankan kalau interaksi
kaya dengan anak – dan kesabaran – lebih penting daripada buku dan drilling
gambar abstrak.
Penelitian ini didukung oleh National Institutes
of Health.
Sumber berita:
2 komentar:
waaaaahhh.....bagus bagus....bisa diterapin ne bwt ank didique....
terima kasih :)
Posting Komentar